Rabu, 01 Desember 2010

Dialektika dalam Perjalanan

Sudah lama tidak menulis. Paska erupsi merapi banyak hal yang mulai kulupakan, sehingga ketika hidup para penyintas itu kembali normal, kenapa kehidupanku tidak. Aku mulai menyusun rencana-rencana, impian-impian, dan segala hal yang "dulu" pernah ku buat dan ku arrasemen ulang dengan adanya kejadian itu.

Opps.. ditengah malam ini (bohong ini mah udah jam 3, pagi buta), saya kembali merenungi perkataan saya barusan. Penyintas kembali ke kehidupan normal ?, 'mungkin' perlu ditambahkan didepannya, bukankah kepastian adalah milik Sang Pencipta ?.

Sebuah ketakutan besar ada di hati saya.

berapa anak yang menyatakan lebih baik di pengungsian saja

berapa anak yang menyatakan pada orangtuanya kalau ingin berada bersama kakak yang ada di pengungsian saja.

bearapa anak yang dimarahi orangtuanya karena menangis dibelikan mainan atau makanan

berapa ibu yang terluka hatinya karena mendengar tangisan anaknya, galau dihati atas kehidupan, yang mungkin harus dikelola lagi dari awal, memenuhi keinginan anaknya,dan bertahan dari segala emosi yang datang berdesakan...

berapa Bapak yang nanar menatap keheningan malam, memikirkan bagaimana bertahan hidup ketika pagi menjelang dan alasan apa yang harus diberikan pada anaknya ketika tidak mendapat jajanan lagi dan kenapa mereka tidak di pengungsian saja.

pikirku galau,,,

Ini pertama kalinya menjadi relawan untuk kondisi merapi. Ribuan pengungsi, berbagai ratapan, keluhan dan kondisi itu. Rabb, betapa hamba harus belajar bersyukur dengan diri hamba. Betapa banyak yang harus dipelajari dalam perjalanan itu. perjalanan yang akan berakhir di liang lahat.

apa kabar adik-adik itu
yang terbiasa waktu itu bermain dengan suka di pengungsian
banyak teman
banyak kakak-kakak relawan
banyak jajanan
tersedia mainan
hidup mungkin terasa lebih banyak warna walau hanya barak maupun tenda

"terbiasa"
lalu menjadi kata yang mencekam buat saya.
terbiasa dengan itu semua, yang mungkin tidak didapat di kehidupan mereka sebelum erupsi merapi, lalu kembali ke kehidupan yang akan mereka perjuangkan untuk kembali seperti semula.

anak-anak itu.
ah...
sebuah helaan panjang. apakah ku berbuat kesalahan ? benarkah yang telah kulakukan?. Betapa ingin mempersiapkan mereka untuk kembali ke rumah setelah pengungsian panjang. Bukan sebuah permainan atau buah tangan. Namun sebuah kesiapan menerjang kehidupan baru, tertawa bersama orangtua dan menjadi penyeka air mata mereka. Otakku meronta dengan berbagai pikiran yang tidak semuanya mampu kulakukan.

Keberadaan kita si "makhluk asing baik hati di pengungsian" adakah mencederai mental mereka. Kebersahajaan kehidupan tergantikan minuman dan jajanan reward yang dibagikan tanpa penjelasan. Setiap orang yang datang lalu mengajak bermain tanpa penghayatan, tiadanya larangan, atau larangan tanpa tindakan. "kenapa tidak ada lagi jajanan itu ?", "kenapa orang-orang itu punya waktu untk bermain bersamaku sedangkan orangtuaku tidak?". pertanyaan-oertanyaan yang mungkin kini tebersit di pikiran anak-anak itu. Bayangan itu bukankah membuat barak pengungsian menjadi tempat yang menyenangkan daripada rumah. Bukankah ini salah ? bukankah seharusnya program-program yang ada membuat mereka mampu kembali ke kehidupan normal mereka. Berjuang dan bertahan dalam perjuangan walaupun kenyataan berkata mereka harus mengulang semua yang pernah mereka dapatkan.

Semua orang sedang berbuat semampu mereka, saya pun yakin itu. Ini hanya kegalauan saya yang bodoh saja. Menganggap tahu dunia tapi sebenarnya tidak mengenal bahkan sebuah kerikil pun.
Hanya saja hati ini galau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar