“apa yang ia pikirkan” batinku
Lelaki yang ku nikahi 3 tahun lalu baru saja pulang, tak ada senyuman melihat padaku pun tidak. Ia membuka pintu, masuk ke rumah, melepas sepatu, meletakkan barang bawaannya lalu berjalan ke kamar mandi. Tak lama terdengar suara shower. Ia mandi dan aku terus membatin di dalam hati.
###
Pernikahan kami terjadi karena orangtua. Bukan.., bukan seperti kisah-kisah sinetron, pernikahan bisnis demi harta atau hutang keluarga. Kami bertetangga, diumur yang cukup tapi masih belum menikah. Maka orangtualah yang turun tangan dan kami, yang begitu berbeda, saat itu berkata “iya”.
Mungkin karena desakan, bingung atau entah apa. Aku menerima sang petualang itu dalam hidupku. Berusaha mencintainya?, bukan perkara gampang. Kepulangannnya ke rumah hanya beberapa kali saja dan berapa lamanya, bisa dihitung dengan sebelah tangan. Seigatku 6 hari itu yang paling lama. Kabar yang kuterima hanya,
“aku sedang di gunung”
dan ketika kubertanya “gunung apa ?”, maka dering pertanda pesan darinya tak pernah terdengar . Akhirnya aku pun jarang membalas,
“aku sedang di telaga”
“lagi di danau”
“masuk hutan”
hanya semacam laporan dan tak perlu check lebih mendalam.
###
Ia selesai mandi, memakai pakaiannya dikamar lalu berjalan ke meja makan. Ia makan apa yang ada di bawah tudung saji. Tidak ada yang istimewa karena aku tak pernah tahu kapan ia pulang. Sang petualang makan hanya dengan telor dadar, sore itu. Aku duduk disebelahnya sambil sesekali menuangkan air ke gelasnya yang kosong.
###
6 bulan setelah pernikahan, ia mengalami kecelakaan. Beberapa retak ada di tulang kering dan paha kaki sebelah kirinya serta kaki sebelah kanannya patah, hingga sebuah operasi pemasangan penyangga di kakinya harus dilakukan. Perlu sekitar 1 tahun ia untuk pulih dan selama pemulihan , ia memilih di rumah orangtuanya. Takut menganggu kuliah S2-ku katanya dan entah mengapa aku bersyukur atas pilihannya.
Setelah pulih ia kembali ke organisasi lingkungan liar International itu, kembali ke pekerjaannya sekaligus hobinya. Tanpa bicara padaku tentu saja. Dan saat itulah aku merasa rindu.
“kutitipkan rinduku padamu, wahai angin. Dan sampaikan padanya yang berada diujung samudra betapa hati ini nelangsa”
sebuah pesan kukirimkan pada nomor yang mulai ku hafal di luar kepala. Dan tidak ada jawaban.
###
Ia makan dengan tenang. Tiada keluhan terucap dari bibirnya. Seandainya aku tahu ia pulang hari ini, tentu aku akan membuat sesuatu yang lebih istimewa. Makanan kesukaannya mungkin, ikan bakar manis. Hal sekecil ini pun ku ketahui dari mertuaku. Suami petualangku tidak pernah meributkan apapun, ia diam, aku pun diam.
###
6 bulan lalu
Aku wisuda profesi. Tidak ada tanda-tanda kedatangannya. Setelah ibu-bapak mertuaku pulang, ibuku tak bida hadir karena adikku yang menempuh ujian akhir SMA minta ditemani, aku sendirian dan perasaan rindu padanya semakin kuat, tiba-tiba ingin bercerita banyak hal padanya walau ku tahu akan dijawab dengan diam. Esok aku pulang ke rumah, merayakan kelulusan bersama keluarga yang diadakan ibu dan mertua. Aku bersiap-siap dan kemudian tidur.
Menjelang siang aku sampai di kampung halaman. Setelah mencium dan memeluk ibu, aku masuk ke kamarku. Sebuah bunga dan tas yang begitu aku kenal. Seseorang melangkah masuk, suamiku sudah ada disitu tersenyum. “selamat” katanya.
Malam itu adalah malam ketika kami bicara banyak hal. Terutama berbagi cerita dan nostalgia masa kecil, saat kami bermusuhan ala kadarnya khas anak kecil. Serta sebuah pengakuan cinta olehku untuknya. Yang membuat semua percakapa itu berakhir, ia serta merta membelakangiku dan aku menyesal atas ucapanku. Esok paginya, ia pergi, pamit pada semua orang, tapi tidak padaku.
###
Ia selesai makan. Aku membawa piring kotornya ke dapur lalu membuatkan kopi pahit kesukaannya. Aku mendengar langkah kaki dan pintu dibuka lalu ditutup kembali. Adzan, ia ke masjid dekat rumah. Aku meletakkan kopi pahit panas itu di ruang keluarga, di kursi dimana ia selalu duduk bila di rumah, menonton TV, membaca buku maupun menulis jurnal perjalanannya di laptop. Selesai sholat dan keluar kamar, ia telah ada disana tidak melakukan apa-apa. Kopinya sudah tinggal separuh. Aku duduk di sofa panjang, disamping sofa tempat ia biasa duduk. Diam, sepi dan aku benci ini. Peristiwa 6 bulan lalu kembali mendesak diingatanku.
Ia tiba-tiba pindah ke sebelahku
“aku ke telaga” ucapnya
Aku diam
“telaga yang sama dengan telaga di awal pernikahan kita”
Aku masih diam
“aku juga ke pantai yang ku beritahu padamu sesaat setelah kecelakaanku”
Aku ingat itu. Ia tidak bisa lagi naik gunung, hingga berpindah divisi setelah pulih.
“terakhir sebelum pulang aku ke hutan yang sama, tempat ku berada saaat mendengar kelulusanmu”
Kemudian kembali diam.
“apa yang kau temukan di telaga ?” tanyaku
“dalam ketenangannya kutemukan kedalaman hati” ujarnya
“apa yang kau dapatkan dari deburan ombak pantai ?”
“bahwa suatu saaat semua akan kembali ke labuhan”
“lalu ketika berada di hutan ?”
“ku temukan bahwa dalam kesendirian pun tiada yang lepas dari perhatian Sang Pencipta dan kutemukan kau menghiasi setiap langkah. Hingga ku tahu dimana hatiku berlabuh dalam cintaNYa, tahu bagian mana di muka bumi, yang paling kuanggap sebagai rumah”
Aku diam. Ini pernyataan cinta sang petualang. Hal yang menyesakkan dada itu hilang, aku memandangnya lama. Aku menyerah kalah padanya. Pada cinta yang kutakutkan hanya ada padaku saja, prasangka atas diam dan lakunya. Aku tidak menyadarinya ternyata. Kalah atas cintaku yang terlambat ada dan mataku yang tidak melihat bahwa aku diperlakukan lebih istimewa. Walau sekedar pemberitahuan dimana ia berada,tapi diriku selalu ada dihatinya. Bukankah ibu mertua selalu takjub ketika ku tahu dimana ia berada, padahal sebelumnya ibu mertua tak pernah mendapat kabar darinya. Mataku berkaca-kaca
“aku mencintaimu sejak lama, namun ku tak tahu cara menyatakannya. Kepergian terakhirku untuk mensyukuri betapa akhirnya aku dicinta oleh bidadari dunia”
Kami berpandangan lama.
#tantangan atas sebuah cerita cinta yang diluar dari biasanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar