Minggu, 19 Desember 2010

Dialektika Perjalanan 2

Banyak situasi yang memberikan pelajaran tentang hal yang kini sedang kutekuni. Tidak hanya matang secara konsep namun juga mampu mempraktekkannya dalam kehidupan. Psikologi adalah ilmu yang ilmiah, itu benar. Namun dalam pengaaplikasiannya diperlukan manuver-manuver yang luar biasa. Kenapa ?, karena kita sedang berurusan dengan makhluk kompleks bernama manusia. Paham teoritis tak membuatmu mampu menguasai lapangan, bahkan mungkin gugup dengan keadaan yang dalam waktu singkat mampu berubah begitu saja. tanpa persiapan, maka kamu akan dikalahkan. Menjadi dinamis lebih diperlukan, perkuliahan hanya mengupas sedikit dari ruang lingkup psikologi itu sendiri. Bukankah kita meyakinkan diri bahwa "dimana ada manusia maka di situ psikologi dapat berkerja".

Sebuah pengalaman menarik kualami ketika harus menjaga sebuah barak waktu itu, keadaan yang berubah-ubah berdampak pada minimnya tenaga. Akhirnya, sebuah barak berpenghuni 500 orang diamanahi ke tanganku. Bahasa kerennya waktu itu "penanganan psikologis" Belum ada sebuah legalitas profesi yang mengijinkan penanganan karena pendidikanku belum memadai, tap tetap menjadi penanggungjawab keadaan psikologis penyintas, sendirian.Padahal tadinya hanya mengantikan. Ada beberapa tenaga medis waktu itu tapi yang ku tahu hanya seorang dokter, yang mengajakku berbicara, selainnya aku tidak mengetahui profesi mereka.

Singkatnya,
Sehabis istirahat siang, datanglah seorang ibu memeriksakan kondisi bayinya. Menurut sang Ibu, bayi 6.4 bulan itu tidak berhenti menangis, susah tidur,ketika tidur pun tidak nyenyak, tidak mau minum ASI maupun susu formula tambahannya serta sering berkeringat. Tidak BAB selama 2 hari.

Bayi itu akhirnya diperiksa oleh si dokter. Tidak tau apa diagnosanya,tdak terlalu memperhatikan lebih tepatnya, belum ada kecurigaan sama sekali. Aku melihat bayi itu diperiksa, menangis ketika dilepas ibunya, meronta ketika dipegang dokter. Pemeriksaan selesai, sang bayi pun diberikan ke ibunya beserta resep yang harus ditebus.

Selagi menunggu antrian obat, si ibu duduk disebelahku. Bayinya tidak berhenti menangis, berbagai posisi dicoba ibu tersebut menghentikan tangis, mulai dari memindahkan tangan tumpuan kepala bayinya, berdiri, menimang-nimang, mengayun-ayun. Giliran sang Ibu untuk mengambil obat, karena kelihatannya si Ibu kepayahan mendengar penjelasan dari sang farmasis disela tangis sang bayi, aku menawarkan diri untuk memegang si bayi. Tidak beberapa lama di gendonganku (posisi kepalanya di dekat dagu bersandar pada bahu, tangan kanan di pinggang dan tangan kiri di bawah pantat) si bayi berhenti menangis, ketika ku duduk pun ia tidak menangis. Si ibu berkata " Si A (nama disamarkan) suka ama mbaknya".

Ketika dikembalikan kepada ibunya dan tanganku menyentuh lengan sang ibu, badan beliau panas. si bayi kembali menangis. Aku menawarkan diri lagi menenangkan si bayi. Bayi itu kugendong lagi, butuh waktulebih lama untuk membuatnya tenang kali ini, si ibu memberi botol susu dan aku memberikan kepada si bayi sambil duduk dan si ibu duduk disebelahku.

Setelah ngobrol ternyata si ibu demam hampir seminggu, susah tidur, tidak enak makan yang berarti bahwa si ibu telah lebih dulu sakit daripada si anak. Namun si Ibu tidak merasakan apa-apa, ketika kemarin berobat pun itu karena disuruh tetangganya. Si Ibu hanya berdua dengan si bayi di barak sedangkan suami sedang dalam perjalanan ke magelang (berkerja diluar kota, tapi aku tidak bertanya dimana). Perawatan dan tanggungjawab dipikul oleh si Ibu.
Berbagai kemungkinan-kemungkinan muncul dikepalaku tentang keadaan ini. Salah satunya ternyata benar (tidak usah disebutkan apa yang dialami sang ibu).Tapi tidak banyak yang bisa dilakukan, walau jadi penanggungjawab secara profesi aku bukan pihak yang berwenang.

Pusing...
Namun jawaban didapat dari si bayi yang akhirnya tidur di gendonganku. Kepalanya dibenamkan ke leherku. Perbedaan yang dapat dilihat antara sang ibu dan aku adalah frekuensi bernafas dan kuantitas keringat. Si bayi merasakan ketidaktenangan sang ibu dan akhirnya mengcopingnya, bagaimana bisa ?. tidak tahu teoritis pastinya seperti apa, aku pun masih mencari. Kemungkinan dari kebutuhan rasa aman yang menjadi kebutuhan sang bayi (dari psi sos erikson), dimana rasa aman ini didapat dari care giver berupa sentuhan dan kelekatan atau attachment. Rasa aman ini akan membuat bayi tetap tenang walau ada kondisi bahaya, berubah, suara keras maupun hal lain yang berubah disekelilingnya.

"ketika sang ibu menderita panik maka mungkin bagi bayinya untuk menderita pula" ini yang saya ingat dari pembicaraan dosen di kelas.
Ketika figure attachnya tidak tenang maka akan berdampak pada bayi, dimana bayi menjadi tidak tenang pula. Proses coping dari figure lekat, baik dari detak jantung, cepat dan lambatnya nafas, sampai pada aktivitas kehidupan seperti pemberian ASI (karena ibunya tidak makan dengan maksimal maka produksi ASI juga tidak maksimal) dianggap sebagai "media transfer" kepanikan.

Ini hipotesis sementara (masih dicari keterangan lain untuk pembuktiannya). Ini mejelaskan kenapa si bayi tenang dan bisa tidur ketika bersamaku dan tidak dengan ibunya. Akhirnya si ibu, ku minta untuk mengatur nafasnya (nafas perut, agar kontrol akan nafas maksimal),, beberapa gerakan relaksasi sederhana (sempat diajarkan ketika pembekalan di fakultas dan barak bersama dinkes)...Lumayan lama bersama sang Ibu. Sampai si Ibu lebih merasa lebih baik, saya mengantarkan si ibu dan bayi ke tempat mereka. Si bayi tetap tertidur pulas bahkan sampai saya mengunjunginya sore hari ketika akan pulang dari barak pengungsian.


Pengalaman berkesan
belajar langsung di tempat, belajar merangkai-rangkai ilmu yang didapat dalam waktu singkat. Ketika berkesempatan untuk ke barak itu lagi, si ibu sudah tidak ada.Masih banyak hal yang ingin diceritakan (daripada numpuk di journal harian), tapi nantilah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar