Kamis, 28 Oktober 2010

Sebuah pendekatan disclosure : Anak rantau Minangkabau Mengenali diri dan budaya dari tanah rantau II

Mengapa Merantau ? (sebuah cerita sejarah dan penyimpangannya di masa kini).


Minangkabau merupakan sebuah masyarakat matrilineal terbesar di dunia. Matrilinea berarti bahwa kekerabatan dan garis keturunan berasal dari garis ibu. Pada zaman dahulu merantau merupakan suatu cara bagi anak laki-laki untuk mencari nama. Dari akil baliq laki-laki tidak lagi mendapatkan tempat dirumah. Rumah hanya tempat untuk makan dan berganti pakaian Mereka tinggal dan meghabiskan waktu di surau-surau untuk belajar. Menurut Gamawan Fauzi (2008) dalam Muarif sebelum bangsa Indonesia mengenal pendidikan ala Barat, suku Minang sudah mengembangkan pendidikan agama di surau-surau. Baru setelah Belanda memperkenalkan pendidikan ala Barat, orang-orang Minang dapat menerimanya dan memanfaatkan dengan baik. Pendidikan ala surau masih dipertahankan melalui taman-taman Al-Quran pada sore hari, sehingga adalah sautu keanehan ketika seorang anak tidak menjalani proses belajar di TPA. Pandangan lain meyatakan bahwa ini merupakan cara remaja laki-laki untuk lari dari kekangan adat.


Merantau kemudian dijadikan sarana oleh para remaja laki-laki ini untuk menimba ilmu dan memahami lebih dalam mengenai persoalan kehidupan. Contoh saja Agus Salim, Muhammad Hatta, Muhammad Natsir yang merupakan anak Minangkabau yang merantau dan berhasil membantu tegaknya negara Indonesia. Belum lagi beberapa yang berhasil di Luar Negeri seperti Khaitib Ahmad Al-Minangkabauwy, seorang khatib asing pertama di Masjidil Haram yang juga merupakan guru Haji Agus Salim dan Natsir ketika di mesir. Yusof Ishak yang merupakan presiden pertama Singapura. Niat utama adalah belajar dan mendalami persaolan hidup yang membuat mereka kaya dalam pengetahuan dan pengalaman. Sehingga mereka bisa memecahkan masalah rumit dan akhirnya menjadi orang yang dipandang karena ilmunya.


Dahulu daerah rantau hanya dibatasi dengan daerah disekitar luhak yang tidak masuk kepada luhak secara langsung. Terdiri dari rantau tuo, rantau pasisia dan rantau darek. Pergeseran dan perpindahan yang tinggi masyarakat minangkabau ini mengakibatkan batasan yang tidak jelas mengenai daerah rantau Minangkabau sehingga akhirnya daerah rantau adalah daerah yang berada di luar daerah Sumatera Barat sebagai pusat dari suku Minangkabau.


Pewarisan budaya tentang merantau ini biasanya dilakukan oleh orang tua yang bercerita tentang kesuksesan sanak saudara mereka yang merantau, dari nyanyian masa kecil hingga pelajaran sekolah ”Budaya Alam Minangkabau”. Juga tentang tokoh-tokoh Minangkabau yang sukses di negeri orang di sekolah-sekolah. Hal ini menumbuhkan kepercayaan diri bagi remaja Minangkabau untuk ikut pergi merantau. Para orangtua biasanya menyipakan anak-anaknya dengan dana yang cukup serta bekal kearifan lokal. Suatu hal yang wajar bila seorang anak dirantau dititipkan oleh orantuanya ke seorang induk samang yang akan menjaga anaknya selama dirantau Anak ketika sampai di rantau diminta untuk mencari induk samang kalau orangtua tidak mempunyai kerabat di daerah tujuan. Keberadaan induk samang ini menjadi ajang silaturahim dan kontrol pergaulan. Induk samang biasanya orang yang dekat dengan orangtua atau orang yang dikenalkan oleh anak kepada orangtuanya sebagai keluarga angkatnya di daerah rantau. Dituliskan dalam pantun adat mancari induak jo suku, jauah nan ditunjuakan, dakek nan dikakokkan, mancakam manumpu didalam nagari. Remaja ini akan diberikan wejangan mengenai kehidupan, kejujuran, loyalitas dan pentingnya menjaga diri serta agama di kehidupan.

Pada saat ini merantau tidak hanya dilakukan oleh para remaja laki-laki. Tapi juga perempuan. Hal ini secara adat menganggu dan membuat permasalahan sosial di dalam lingkungan adat. Karena tidak adanya generasi perempuan yang menjadi pemegang adat dan penerus keturunan di tempat. Niatnya pun sudah beralih dari mencari ilmu menjadi mencari kejayaan atau kekayaan saja. Pragmatis. Tidak ada keinginan mendalam untuk menuntut ilmu namun lebih kepada mencari kekayaan. Hal ini akhirnya berdampak juga kepada daerah asal. Bila perantau zaman dahulu akan kembali ke daerah asal setelah mencapai kejayaannya, maka saat ini jarang orang rantau yang kembali ke rumah. Apalagi bila mereka menikah dengan orang luar Minang atau keluarga yang sudah tidak ada di daerah asal. Masalah ini menjadi perbincangan yang hangat bagi pemegang adat Nagari karena makin berkurangnya pemegang adat yang ada di daerah asal hingga ketakutan akan hilangnya nilai luhur adat istiadat menghantui pemuka adat karena aktifitas merantau ini.

Dalam Muarif (2009) nilai-nilai yang terkandung didalam budaya merantau ini adalah kebebasan, pengorbanan, harapan, kebersahajaan, kekeluargaan, kerjasama, dapat dipercaya, ketekunan dan kebebasan, kebijaksanaan,adaptasi, cinta budaya, cinta ilmu, cinta agama, belajar dari pengalaman, profesinal dan jaringan. Yang terangkum dalam kesempatan merantau, ajaran orangtua dan hasil belajar remaja rantau.

Apa kabar remaja?

Suatu kekuatiran yang dialami oleh masyarakat Indonesia adalah tentang generasi mudanya. Banyak berita yang mengabarkan betapa memprihatinkannya generasi muda Indonesia pada saaat ini. Tawuran, sex bebas, Narkoba dan kehidupan hedonisme kerap disandingkan dengan para remaja. Kontrol sosial tidak lagi mempan untuk menahan pesatnya kejadian tersebut. Perilaku ini disinyalir sebagai gagalnya remaja dalam menyesuaikan diri dan proses belajar sehingga muncul tindakan maladptif atau menyimpang.

Remaja berprestasi pun tetap ada namun masyarakat yang mengalami magnification atau membesar-besarkan masalah negatif dan minimization atau meminimalisir hal yang positif membuat segelintir siswa-siswa berprestasi ini ditelan arus media tentang Juvenile Deliquency. Seorang remaja Indonesia menjadi Profesor termuda fisika diluar negeri sana terkalahkan oleh berita artis remaja yang hamil diluar nikah.

Masa remaja menurut Stanley Hall dalam Hurlock (1993) merupakan masa dimana dianggap sebagai masa topan badai dan stress (Storm and Stress). Pendapat serupa pun diungkapkan oleh Erickson masa remaja adalah masa terjadinya krisis identitas atau pencarian identitas diri. Gagasan Erickson ini dikuatkan oleh James Marcia yang menemukan bahwa ada empat status identitas diri pada remaja yaitu identity diffusiona/ confussion, moratorium, foreclosure, dan identity achieved (Santrock, 2003, Papalia, dkk, 2001, Monks, dkk, 2000, Muss, 1988).

Mereka berusaha mencari jati diri mereka dengan jalannya sendiri. Dan biasanya mereka melakukannya dengan melakukan konformitas terhadap peer group atau kelompok teman sebaya. Beberapa wujud pentingnya peer group pada remaja dinyatakan oleh Kelly & Hansen, dalam Dacey & Kenny (1977)
(a) mengendalikan impuls agresif;
(b) mendapatkan dukungan sosial dan dukungan emosional serta kemandirian;
(c) meningkatkan keterampilan sosial, kemampuan bernalar, dan mengekspresikan perasaan secara matang;
(d) mengembangkan sikap terhadap seksualitas dan perilaku sesuai peran jenis;
(e) memperkuat nilai-nilai dan keputusan moral;
(f) memperkuat harga diri (self esteem).

Sebuah konsep yang sedikit berbeda tentang remaja dan tugasnya dinyatakan oleh Havirgust (1993), diantaranya remaja di dalam masa mereka hendaknya mampu membuat hubungan baru dan mematangkan hubungan atara sesama jenis ataupun berbeda jenis. Mampu mengerti mengenai peranan sosial dan bagaimana melakukan peran mereka di dalam masyarakat. Memiliki kemandirian emosi, ekonomi dan kemandirian dalam memilih.

Dimana remaja harusnya telah mampu mengembangkan diri mereka sehingga mampu mencapai kematangan dalam bersosial (baik membentuk hubungan maupun menyadari peranan sosial), memiliki kemampuan untuk mengendalikan dan meregulasi emosi, pengaturan dan mencari uang untuk kebutuhan sendiri serta mampu mengambil keputusan yang sesuai dengan dirinya dengan tidak merugikan orang lain maupun dirinya sendiri


Banyak perubahan terjadi di masa ini baik secara fisik (perubahan cepat di ciri fisik maskulin maupun feminism serta kematangan seksual), sosial, kognitif dan emosi. Perubahan terjadi sangat cepat dan menuju kematangan. Perubahan yang cepat disegala aspek ini turut membuat remaja bingung akan keberadaannya. Dimana mereka biasa untuk dibimbing di segala aspek oleh orangtua selama masa kanak-kanaknya. Maka saat remaja mereka mulai untuk pertama kalinya melakukan dan mengaturnya sendiri. Pada fenomena remaja minangkabau hal yang paling menarik untuk dikaji adalah kematangan mereka secara emosional dan financial (sebagai salah satu kebutuhan untuk aktualisasi dan tugas perkembangan remaja).


Kematangan emosional merupakan kondisi dalam mencapai tingkat kedewasaan, khususnya bila dipandang dari sudut perkembangan emosional individu. Seseorang yang telah matang emosinya memiliki kekayaan dan keanekaragaman ekspresi emosi, ketepatan emosi dan kontrol emosi. Hal ini berarti respon-respon emosional seseorang disesuaikan dengan situasi stimulus, namun ekspresi tetap memperhatikan kesopanan sosial (Stanford, 1965 dalam anonim 2010). Beberapa indikasi yang bisa dipakai untuk menyatakan seorang remaja telah mencapai kematangan emosi yaitu
(a) Tidak bersikap kekanak-kanakan
(b) Bersikap Rasional
(c) Bersikap Objektif
(d) Dapat menerima Kritikan
(e) Bertanggungjawab terhadap tindakan yang dilakukan
(f) Mampu menghadapi masalah dan tantangan yang dihadapi (Nuryoto,1992)

Kematangan Finansial diukur dengan siap atau tidaknya remaja untuk tidak lagi mendapatkan dana dari orangtua. Paling tidak ada usaha dari remaja untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.
Remaja Minangkabau dalam Perantauan

Remaja Minangkabau yang berada di perantauan menyadari bahwa orang di daerah asal menaruh kepercayaan dan harapan besar pada diri mereka. Hal ini berupa penjagaan nama baik keluarga hingga pada kabar kesuksesan yang akan menjadi prestise tersendiri untuk keluarga di daerah asal. Semua hal ini menjadi tekanan yang tidak mudah bagi seorang remaja yang baru belajar untuk menguasai dirinya sendiri. Selain harus beradaptasi dengan lingkungan yang baru, ia juga harus jauh dari orangtua dan teman masa kecilnya. Disinilah para remaja Minangkabau belajar mengenai kebebasan, adaptasi serta pengorbanan. Proses terpaksa dimana ia harus hidup jauh atas kemauannya sendiri menunjukkan jalan akan kebersahajaan ia harus mampu mengatur dirinya sendiri, hidup dengan memikirkan harus seimbang antara kebutuhan dunia dan kebutuhan akhirat seperti yang dipesankan oleh orangtua mereka. Dari sini tumbuh jiwa untuk melakukan wirausaha atau bekerja pada remaja Minang. Melanjutkan kehidupan dan membuat rencana perjalanan yang lebih panjang. Seorang anggota Forum komunikasi dimana wawancara pendek dilakukan ternyata telah memiliki toko serba ada sendiri, beberapa bekerjasama membentuk perusahaan konveksi dan ada juga yang memulai bisnis kecil-kecilan berupa jualan pulsa maupun makanan kecil.

Orang Minangkabau atau urang awak ini pergi merantau atas kemauan sendiri atas dasar kekuatan budaya merantau yang mengakar. Merantau ini bisa diartikan sebagai proses percepatan dalam proses kematangan individu. Karena di dalam merantau remaja akan bertemu dengan masyarakat, ruang, tempat dan adat yang sama sekali baru. Mereka mencaba berinteraksi bukan dengan mengamati orangtua mereka berperilaku namun dengan pengunaan trial-error yanag merupakan proses pengabungan nilai-nilai yang mereka pelajari di kampung halaman dan diganbungkan dengan nilai di tempat yang baru, ”dima bumi dipijak, disitu langik dijunjuang” (Dimana bumi dipijak disitulah langit dijunjung). Yang berarti mereka akan belajar cara menemukan diri mereka dengan cara mereka sendiri melalui proses belajar tanpa bantuang langsung dari orangtua. Tidak ada percekcokan mengenai pemberontakan seperti remaja yang lainnya. Karena fungsi orangtua adalah sebagai tempat untuk bercerita dan meminta nasehat. Semuanya dikembalikan pada remaja.

Bukan hal mudah untuk dilakukan oleh remaja yang baru beranjak dari dunia kanak-kanak. Namun hal ini dibuktikan oleh para remaja Minangkabau ini mampu bertahan dengan keadaan tersebut. Penanaman nilai untuk jujur, loyal, taat beragama yang dilakukan sejak dini turut membantu hal ini. Remaja Minangkabau lebih mudah menyatakan perasaan dan pikiran yang mereka rasakan walau terkadang dengan sindiran khas. Proses asertif yang telah diajarkan secara tidak langsung melalui adat ini mampu membantu mereka mengkomunikasikan ketidaktahuan, ketidaksukaan. Loyal terjhadp orang lain dan pertemanan membantu secara sosial sehingga mereka dapat diterima dengan mudah. Sedangkan cinta agama membuat remaja ini terkontrol dalam koridor yang benar.

Bila mereka mengalami kepenatan dalam beraktivitas ataupun keadaan di daerah rantau, kebiasaan hidup berkumpul mereka menjadi obat. Bila di Nagari asal biasanya mereka hidup berkumpul dengan orang sesuku maka di daerah rantau mereka berkumpul dengan orang sedaerah. Forum Komunikasi Mahasiswa Minang (Forkommi) UGM salah satu contohnya. Pengajian bulanan maupun duduk bersama dan berbicara banyak hal menjadi rutinitas di rumah kontrakan ini.

Adanya peer group yang senasib seperjuangan tentu saja membantu proses kematangan sosial dan emosi pada anak remaja minangkabau. Karena menurut Kelly & Hansen, dalam Dacey & Kenny (1977) pentingnya peer group adalah untuk
• mendapatkan dukungan sosial dan dukungan emosional serta kemandirian;
• meningkatkan keterampilan sosial, kemampuan bernalar, dan mengekspresikan perasaan secara matang;
• memperkuat nilai-nilai dan keputusan moral;
• memperkuat harga diri (self esteem)
sehingga bila control dari orangtua dan induk samang tidak berjalan dengan baik maka peer group ini akan menjadi kontrol dari perilaku remaja Minangkabau. Sehingga kematangan remaja bisa dicapai walau jauh dari orangtua. Significant person diganti oleh peer group.

Kegagalan untuk mencapai kematangan sosial pada anak remaja Minangkabau dan penyimpangan perilaku biasanya disebabkan oleh pribadinya sendiri. Beberapa kasus yang dialami oleh anak-anak forum komunikasi adalah kerentanan terhadap stress, beberapa merasa tidak mampu untuk bersaing secara akademis (kultur berprestasi di akademis dan organisasi sangat kuat di forum ini) sehingga menutup diri dan mengambil jalan untuk tidak ikut kegiatan forum lagi lalu terdengar kabar terlibat narkoba atau pergaulan bebas. Biasannya forum komunikasi ini akan mengaet kembali ”anggota nakal” ini, berusaha menyadarkannya, apabila tidak berhasil maka pengurus menghubungi orangtua sang anggota untuk meminta saran apa yang harus dilakukan. Forum ini juga membantu bila ada anggota yang mengalami musibah dan kemalangan.
Forum-forum seperti ini juga yang mengagas bantuan untuk Sumatera Barat ketika bencana terjadi 29 September 2009 yang lalu. Kemapanan pribadi dan solidnya peer group membantu remaja untuk bisa mengaktualisasikan dirinya hingga kematangan dalam hal ini emosi dapat dicapai walau berada jauh dari keluarga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar