Minggu, 17 Januari 2010

Bayangan Sang Bunda dalam Dimensi Rinduku

DAN AKU MELIHAT WAJAH TUA DIHADAPANKU

Dan aku melihat wajah tua dihadapanku,

Keriput mulai memenuhi wajahnya, namun tak mampu menyembunyikan kilau kecantikan masa mudanya. Bahkan kata saudaranya, mama adalah sosok pujaan laki-laki di kampung yang mereka tinggali ketika masa muda.

Dan aku melihat wajah tua dihadapanku,

sedang tertidur pulas di bangku yang tidak nyaman itu. Teringat pengorbanan beliau selama ini. Pernah beliau tidak jadi membeli kebutuhan pribadinya karena aku dan kakakku merengek minta dibelikan baju baru. Padahal waktu itu papa sedang berada jauh dan tinggal di kota yang berbeda karena urusan pekerjaan, tapi sekali lagi untuk kami, mama merelakan kepentingannya.

Dan aku melihat wajah tua dihadapanku,

Tempat pancaran sabar dan tabah tergurat dengan indah. Waktu itu aku ikut dengannya untuk sebuah urusan kantor papa, persatuan dharma wanita, dan kalau kau melihat keadaannya saat itu, kau bisa menebak yang mana mamaku. Cari saja yang penampilannya paling sederhana serta disampingnya ada anak yang tidak berhenti meminta jawaban atas pertanyaannya, tapi tak sedikitpun dimarahi oleh wanita bersahaja yang ia panggil mama. Temannya berkata mama terlalu memanjakan anak, menuruti kemauan anak. Mama menjawab biar saja, mereka masih anak-anak.

Dan aku melihat wajah tua dihadapanku,

Ketika kami semua beranjak remaja dan dewasa, mama mendirikan tembok perlindungan begitu rupa. Pertanyaan tentang keseharian menjadi saat interogasi demi rasa aman, bahwa anakku dalam keadaan bebas dari segala bahaya dan ancaman. Makan malam menjadi tempat untuk segala petuah dan nasihat. Aku dan kedua kakakku merasa dikekang dan kami pun melawan. Beliau membalasnya, tapi dengan lebih banyak tindakan pelambang sayang. Dan ketika teman-temannya ribut karena percobaan bunuh diri anak mereka yang patah hati, anak yang terlibat narkoba, hamil diluar nikah, dan tak jua lulus kuliah. Mama dengan tenang mendengarkan keluh kesah mereka, karena keyakinannya bahwa anak gadisnya tidak mungkin melakukan hal yang serupa, sebuah do’a. Setelah sekian lama teman-temannya sadar, bahwa temannya ini, mamaku, membuktikan bahwa pengorbanannya, kasih sayangnya dan segala hal yang dilakukan olehnya menghasilkan 3 orang anak perempuan yang mandiri dan berprestasi. Dan perkataan yang hina dulu berubah jadi decakan kagum,

Dan aku melihat wajah tua dihadapanku,

Sebuah foto yang kuambil ketika pernikahan kakak pertamaku, hanya kami berdua kala itu. Yang lain telah lama terbuai di alam mimpi sedang mama menunggu hingga para tukang selesai memasang tenda. Aku menemaninya bercerita tentang masa lalu, tentang aku dan kakak-kakakku. Bahwa serasa baru kemarin ia memegang tubuh prematur kakak pertamaku, bertengkar dengannya, mengenang ketika pelantikan dokternya. Tentang kakak keduaku, kesedihannya ketika kakakku harus menuntut ilmu di tempat yang jauh dari sisinya. Tentang kelahiranku, kenakalan serta rindunya ketika harus berpisah dariku. Kami bercerita banyak ketika itu, cerita abadi masa lalu, hingga ia jatuh tertidur karena berjalan larutnya waktu.

Dan aku melihat wajah tua dihadapanku,

Dalam foto yang kuambil diam-diam dengan kamera handphoneku. Dan kini dalam gelap dan sunyinya malam kembali ku pandangi dalam rindu hati.

Dan aku melihat wajah tua dihadapanku,

Kilauan rindu untuk kembali merebahkan kepala dalam pangkuannya atau meminta uang jajan walau seribu saja. Menatap jauh ke dalam matanya, Bahkan ku rindu bertengkar dengannya. Lalu kuteringat suatu masa ia berkata “ mama tidak pernah bisa membayangkan kamu sendiri di kota yang berbeda. Bagaimana kalau kambuh siapa yang akan menolong, bagaimana kalau kenapa-napa?. Tapi ini semua adalah impian maka raihlah buktikan bahwa kamu memang bisa. Mama akan selalu berdo’a agar kamu dijaga olehNya”.

Dan disunyinya malam ini, ketika rinduku terasa memecahkan kepala, ketika jawaban suaranya di telephone hanya kujawab dengan desakan air mata. Dan akhirnya kami menangis bersama. Kuucapkan pada dunia dan kutitipkan pada semilir angin yang akan mengarungi samudra “aku mencintaimu mama, karena Allah sesungguhnya”

1 komentar: