Dunia Nyata Berbatas Kaca
Mari singgah, bersama secangkir teh panas dan biskuit susu, kutemani kau bicara tentang duniaku.Dunia nyata yang berbatas kaca,,
Minggu, 31 Januari 2016
Kematian Pertama (2)
Kematian Pertama
Senin, 29 Desember 2014
Media and Literacy Movement : "Media dan Literasi di Ujung Tanduk"
" Media yang iitu kalau bikin cerita suka nggak nyambung judul dengan isinya"
" Media S punya si A. Ya iyalah.., bakal belaain. Kelompoknya sendiri kok"
"Website yang ini isinya jarang yang bener. Kok masih pada nge-share ya?"
" Gw udah gak tau mau percaya berita yang mana. Bingung gw"
Kamis, 25 September 2014
Pengugur Dosa
Sakit...
Kalau ditanya siapa yang ingin menderita sakit, mungkin tidak ada yang angkat tangan trus bilang " aku...aku...". (Kecuali penderita malihgering, somatoform kali ya).
Selama pecarian wajah yang kulakukan, beberapa hal terlupakan manajemen diri dengan tubuh yang mudah terserang sakit. Olahraga cuma 2 kali seminggu, makan tidak teratur plus malam-malam panjang yang dilalui dengan begadang itu. Mungkin salah dengan kemampuan yang tidak sama namun berusaha mengejar dengan derap langkah yang sama. Dosenku berkata "mungkin fisikmu tidak sama dengan mereka maka Allah memberikan kapasitas otak yang lebih dan mudah memahami". Ketika itu otakku tidak bisa menerima dan tetap berkata aku bisa karena toh mereka bisa...
Dua tahun untuk mengejar semua perubahan itu namun mengugurkan satu aspek yang ku jaga dengan susah payah sejak dulu. Akhirnya setelah PKPP selesai, sakit-sakit yang selama ini diindahkan minta perhatian. Terbayang orang-orang melaju dengan kuliahnya, aku harus berhenti sejenak untuk menyemhuhkan semuanya. Diagnosa-diagnosa aneh yang keluar malah menambah stress.
Ketika salah seorang dokter menyampaikan diagnosa "aneh" yang membuat otakku ingin meledak, suatu kesadaran datang lalu berbisik "suatu ketika kamu akan bertemu orang-orang sepertimu namun kamu berada di balik meja itu, bukan di depannya, apa yang akan kamu lakukan?". Seketika hati memahami penyampaian tidak menyenangkan dari sang dokter, toh beliau manusia biasa yang khilaf saat itu karena lelah.
Beberapa bulan mondar-mandir, maka obat yang terbaik untuk hati terbukti adalah keluarga. Kedatangan papa yang menyediakan tempat untuk khawatir bisa beristirahat. Kedatangan, waktu, obrolan dan rencana masa depan yang beliau ceritakan menjadi obat penenang yang lebih ampuh dari segala obat yang diberikan. Jalan ini masih panjang dan butuh waktu untuk menyesuaikan diri dengan keadaan namun kata-kata beliau menjadi senjata untuk bertahan. "Toh papa dan mama ada buat kalian"...
Ini jalan unuk mengugurkan dosa dan modal yang kuperlukan hanyalah kesabaran
Paham
Dua tahun sudah perkuliahan ini berjalan dan yang paling ingin kudapat diakhir perjalanan ini adalah "wajah". Wajah dari psikolog bernama yova, bukan hanya sebuah titel yang melekat karena lulus kuliah magister profesi. Kepahaman mengenai hal yang membuat unik dan berbeda bukan hanya menjadi rerata saja. Kepahaman bahwa banyak tanggung jawab yang melekat di pundak nantinya namun sadar akan kekuatan besar yang diberikan Sang Pemilik Semesta untuk bisa menampung itu semua. Salah seorang dosen pernah berkata " apa yang kalian pikirkan ketika memilih menjadi psikolog klinis, Ketika kalian sendiri penuh dengan masalah, kenapa kalian malah menambah beban masalah orang lain ?" , waktu itu, di lapangan hijau itu, kami sekelas terdiam. Dua tahun sudah lewat dan masing-masing kami mencari jawaban pertanyaan itu, pemikiranku saja, mungkin yang lain malah tidak berpikir apa-apa, aku saja yang sok tahu.
Setidaknya tameng baja seorang aku sudah terkikis. Altruisme yang melekat, perlahan-lahan hilang. Dulu beberapa orang memanggil dengan sebutan "ibu peri"walau setajam apapun perkataan yang aku keluarkan. Sekarang aku hanya menjelaskan bahwa jawaban tajamku itu kenyataan. Setidaknya dua tahun mengikis rasa "baiklah mari bantu orang lain dulu, urusanku belakangan". Setidaknya tidak lagi malu menangis di depan orang lain atau diam-diam nonton film sedih sendirian karena tidak mau kelihatan menangis di depan orang lain. Kata salah seorang teman, mungkin pindah dari rumah mengajarkanku untuk dewasa namun, aku lupa bahwa aku seorang anak perempuan bungsu. Dua tahun yang tidak mudah untuk membuka diri kepada orang lain di balik topeng yang selama ini dikenakan. Tulisan ini pun bukti belajar menerima dan menyayangi diri sendiri itu. Dua tahun untuk kembali menjadi si bungsu yang tahu menempatkan diri.
Tiba-tiba teringat pertama kali harus terbuka kepada orang lain dan semua tanda kecemasan itu muncul ( mengaruk wajah, meremas-remas tangan, blocking) dan menangis pada sesi selanjutnya karena merasa tidak ada masalah yang harus kuceritakan. Kata-kata yang teringat saat itu " Klien yang datang kepada kalian mungkin merasakan hal yang sama, ada yang menganjal di hati namun bagaimana menyampaikan kepada orang yang sama sekali belum mereka kenal". Aku masih dengan sikap tertutup dibalik penerimaan dan sapaan ramah namun setidaknya tidak lagi memaksa untuk mengatakan "ya" ketika hatiku mengatakan "tidak". Aku masih orang yang canggung bila bertemu dengan orang lain, salah seorang teman bilang "serasa sudah dipegang tangan namun tidak", lalu berlindung di balik teman-teman dekatku. Aku masih suka berada di belakang layar daripada di depannya dan silahkan yang ingin mendapatkan nama jadi tamengku di sana.
Dua tahun untuk merubah itu dan menerima segala perubahan dan yang sudah ada di dalam diriku. Satu yang kuyakini setiap orang berubah menjadi lebih baik dengan cara mereka sendiri. Yang tertinggal adalah orang yang terlalu memaksa atau tidak mau berubah sama sekali...
HIMPSI sudah berlalu dan tesis datang...
Wajah itu masih aku cari dan entah kapan aku paham setidaknya aku melalui sesuatu dan nyaman akan segala sesuatu itu.
Senin, 26 Mei 2014
Akhirnya
Belum HIMPSI sih, padahal teman-teman udah banyak yang HIMPSI.
Tesis baru nyampe proposal
hemm... segitu dulu, hanya mau ngabari in sha Allah ini blog hidup lagi... ^__^