Pertama kalinya kematian mengetuk pintu rumah kami. Ia datang dengan di
pagi hari lalu berlalu secepat dia datang,membawa serta orang terindah dalam
hidupku. Detik-detik sapaannya masih terekam jelas di kepala. Memori yang terus
berputar-putar entah sampai kapan. Hari itu masih seperti mimpi, prosesinya,
jenazahnya yang bagai terlelap, segala kemudahan dan kedatangan banyak orang
yang mengasihi dirinya.
Ku rasa tidak ada satu orang pun yang siap kehilangan orang yang
dikasihinya. Rasa cinta yang mengalahkan logika bahwa setiap orang akan kembali
ke Ilahi pada akhirnya. Bahwa orang yang saat ini berada di sisimu, mengenggam
hangat tanganmu, memeluk, tersenyum dan mencurahkan kasih sayang kepadamu bukan
milikmu. Dia milik penciptaNya dan suatu waktu Ia ingin kembali bersamanya.
Cinta yang seperti itu juga mengalahkanku.
Empat perempuan kemudian kembali ke rumah setelah pemakaman yang disertai
hujan itu selesai. Beberapa kerabat menemani kami, mengenang sosok pendiam itu
kembali. Tidak ada yang diperlakukan sama persis. Ia memperlakukan orang seusai
dengan karakternya masing-masing. Si Sulung akan diajak berdiskusi dan
diberikan keputusan final, Si Tengah di motivasi dengan di tantang dan Si
Bungsu akan diajak bicara dari hati ke hati lalu di minta membuat keputusan
sendiri. Anehnya semua keputusan yang diambil putrinya sesuai dengan keinginan
beliau. Si Sulung yang mapan di Riau akhrinya bekerja di Padang dan menjadi Spesialis.
Si Tengah yang settle di swasta akhirnya PNS Pusat dengan penempatan Padang. Si
Bungsu yang bersikeras menolak menjadi Dokter akhirnya memilih menjadi Psikolog
Klinis. Kami menyebutnya “Jebakan Betmen” papa.
Tiap hari tamu berdatangan dan saat itu juga kami mendapatkan hal baru
tentang beliau. Belajar yang makin banyak setelah kepergian beliau.Semua hal
menjadi pisau bermata dua.
Kenangan-kenangan tentang beliau malah memberatkan untuk menemui tamu. Cinta
itu diam-diam mengubah dirinya menjadi kehilangan yang teramat sangat. Aku
mulai malas bertemu dengan orang, menarik diri, banyak tidur, asam lambung yang
selalu tinggi dan lebih diam. Hidup yang tidak terasa seperti hidup.
Waktu berlalu dan kehidupan harus berjalan. Hati kosong dan dayaku seakan
lumpuh namun kakiku melangkah ke perantauan. Aku menemui teman-teman
terdekatku, menyelesaikan apa yang harus kuselesaikan lalu menarik diri
kembali. Penyakitku kambuh, imun yang
tidak bagus membawa virus flu pun ikut mengerogoti badan. Suatu dini hari
segala sakit dan sedih itu menyerang bersamaan. Aku sulit bernafas, vertigo dan
kram perut. Ketakutan menyelimuti seketika. Bagaimana bila kematian kedua
datang mengetuk pintu rumah kami lagi dan aku yang pergi bersamanya. Saat itu
setelah memasukkan semua obat dan memasang oksigen kaleng ke diriku. Aku butuh
bantuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar