Minggu, 19 Desember 2010

Dialektika Perjalanan 2

Banyak situasi yang memberikan pelajaran tentang hal yang kini sedang kutekuni. Tidak hanya matang secara konsep namun juga mampu mempraktekkannya dalam kehidupan. Psikologi adalah ilmu yang ilmiah, itu benar. Namun dalam pengaaplikasiannya diperlukan manuver-manuver yang luar biasa. Kenapa ?, karena kita sedang berurusan dengan makhluk kompleks bernama manusia. Paham teoritis tak membuatmu mampu menguasai lapangan, bahkan mungkin gugup dengan keadaan yang dalam waktu singkat mampu berubah begitu saja. tanpa persiapan, maka kamu akan dikalahkan. Menjadi dinamis lebih diperlukan, perkuliahan hanya mengupas sedikit dari ruang lingkup psikologi itu sendiri. Bukankah kita meyakinkan diri bahwa "dimana ada manusia maka di situ psikologi dapat berkerja".

Sebuah pengalaman menarik kualami ketika harus menjaga sebuah barak waktu itu, keadaan yang berubah-ubah berdampak pada minimnya tenaga. Akhirnya, sebuah barak berpenghuni 500 orang diamanahi ke tanganku. Bahasa kerennya waktu itu "penanganan psikologis" Belum ada sebuah legalitas profesi yang mengijinkan penanganan karena pendidikanku belum memadai, tap tetap menjadi penanggungjawab keadaan psikologis penyintas, sendirian.Padahal tadinya hanya mengantikan. Ada beberapa tenaga medis waktu itu tapi yang ku tahu hanya seorang dokter, yang mengajakku berbicara, selainnya aku tidak mengetahui profesi mereka.

Singkatnya,
Sehabis istirahat siang, datanglah seorang ibu memeriksakan kondisi bayinya. Menurut sang Ibu, bayi 6.4 bulan itu tidak berhenti menangis, susah tidur,ketika tidur pun tidak nyenyak, tidak mau minum ASI maupun susu formula tambahannya serta sering berkeringat. Tidak BAB selama 2 hari.

Bayi itu akhirnya diperiksa oleh si dokter. Tidak tau apa diagnosanya,tdak terlalu memperhatikan lebih tepatnya, belum ada kecurigaan sama sekali. Aku melihat bayi itu diperiksa, menangis ketika dilepas ibunya, meronta ketika dipegang dokter. Pemeriksaan selesai, sang bayi pun diberikan ke ibunya beserta resep yang harus ditebus.

Selagi menunggu antrian obat, si ibu duduk disebelahku. Bayinya tidak berhenti menangis, berbagai posisi dicoba ibu tersebut menghentikan tangis, mulai dari memindahkan tangan tumpuan kepala bayinya, berdiri, menimang-nimang, mengayun-ayun. Giliran sang Ibu untuk mengambil obat, karena kelihatannya si Ibu kepayahan mendengar penjelasan dari sang farmasis disela tangis sang bayi, aku menawarkan diri untuk memegang si bayi. Tidak beberapa lama di gendonganku (posisi kepalanya di dekat dagu bersandar pada bahu, tangan kanan di pinggang dan tangan kiri di bawah pantat) si bayi berhenti menangis, ketika ku duduk pun ia tidak menangis. Si ibu berkata " Si A (nama disamarkan) suka ama mbaknya".

Ketika dikembalikan kepada ibunya dan tanganku menyentuh lengan sang ibu, badan beliau panas. si bayi kembali menangis. Aku menawarkan diri lagi menenangkan si bayi. Bayi itu kugendong lagi, butuh waktulebih lama untuk membuatnya tenang kali ini, si ibu memberi botol susu dan aku memberikan kepada si bayi sambil duduk dan si ibu duduk disebelahku.

Setelah ngobrol ternyata si ibu demam hampir seminggu, susah tidur, tidak enak makan yang berarti bahwa si ibu telah lebih dulu sakit daripada si anak. Namun si Ibu tidak merasakan apa-apa, ketika kemarin berobat pun itu karena disuruh tetangganya. Si Ibu hanya berdua dengan si bayi di barak sedangkan suami sedang dalam perjalanan ke magelang (berkerja diluar kota, tapi aku tidak bertanya dimana). Perawatan dan tanggungjawab dipikul oleh si Ibu.
Berbagai kemungkinan-kemungkinan muncul dikepalaku tentang keadaan ini. Salah satunya ternyata benar (tidak usah disebutkan apa yang dialami sang ibu).Tapi tidak banyak yang bisa dilakukan, walau jadi penanggungjawab secara profesi aku bukan pihak yang berwenang.

Pusing...
Namun jawaban didapat dari si bayi yang akhirnya tidur di gendonganku. Kepalanya dibenamkan ke leherku. Perbedaan yang dapat dilihat antara sang ibu dan aku adalah frekuensi bernafas dan kuantitas keringat. Si bayi merasakan ketidaktenangan sang ibu dan akhirnya mengcopingnya, bagaimana bisa ?. tidak tahu teoritis pastinya seperti apa, aku pun masih mencari. Kemungkinan dari kebutuhan rasa aman yang menjadi kebutuhan sang bayi (dari psi sos erikson), dimana rasa aman ini didapat dari care giver berupa sentuhan dan kelekatan atau attachment. Rasa aman ini akan membuat bayi tetap tenang walau ada kondisi bahaya, berubah, suara keras maupun hal lain yang berubah disekelilingnya.

"ketika sang ibu menderita panik maka mungkin bagi bayinya untuk menderita pula" ini yang saya ingat dari pembicaraan dosen di kelas.
Ketika figure attachnya tidak tenang maka akan berdampak pada bayi, dimana bayi menjadi tidak tenang pula. Proses coping dari figure lekat, baik dari detak jantung, cepat dan lambatnya nafas, sampai pada aktivitas kehidupan seperti pemberian ASI (karena ibunya tidak makan dengan maksimal maka produksi ASI juga tidak maksimal) dianggap sebagai "media transfer" kepanikan.

Ini hipotesis sementara (masih dicari keterangan lain untuk pembuktiannya). Ini mejelaskan kenapa si bayi tenang dan bisa tidur ketika bersamaku dan tidak dengan ibunya. Akhirnya si ibu, ku minta untuk mengatur nafasnya (nafas perut, agar kontrol akan nafas maksimal),, beberapa gerakan relaksasi sederhana (sempat diajarkan ketika pembekalan di fakultas dan barak bersama dinkes)...Lumayan lama bersama sang Ibu. Sampai si Ibu lebih merasa lebih baik, saya mengantarkan si ibu dan bayi ke tempat mereka. Si bayi tetap tertidur pulas bahkan sampai saya mengunjunginya sore hari ketika akan pulang dari barak pengungsian.


Pengalaman berkesan
belajar langsung di tempat, belajar merangkai-rangkai ilmu yang didapat dalam waktu singkat. Ketika berkesempatan untuk ke barak itu lagi, si ibu sudah tidak ada.Masih banyak hal yang ingin diceritakan (daripada numpuk di journal harian), tapi nantilah.

Senin, 06 Desember 2010

Sekeping Rasa untuk Masa Lalu

" Ketika aku jatuh cinta ia, sang pencuri hati itu, akan kuletakkan jauh dari pandangan. Hingga waktu penentuannya datang, apakah ia akan menemani mencapai harapan atau sebaliknya. Kalau ternyata ia bukan yang akan menemani dalam kehidupan, setidaknya ia telah jauh dari jangkauan. Allah padamu kuserahkan"

###


Ia yang tidak kunjung sadar, betapa seseorang mencintainya dalam diam. Menggangumi tingkah lakunya, kepintaran dan pengertiannya, lalu menangis dalam sujud panjang. Betapa hatinya terkotori. Pada gelap dan sunyinya malam itu, ia mengambil keputusan.

"pikirkan lagi" kata sosok berjilbab di depannya

"sudah, Mbak. Insyaallah" jawabnya

"alasannya apa?"

"cukup Allah dan saya yang tau"

"ayolah, Vy. Berbagi, Insyaallah kita cari bersama jalan keluarnya.'

"hati saya mantap, Mbak"

Sosok itu terdiam. Tak mungkin sepertinya menahan adik yang satu ini. Esoknya lembaga itu gempar, seorang Vy menerima amanah di luar kampus dan tidak lagi ada di lembaga itu

###

"Allah, kemana kuadukan perihal cinta. Ketika hati ini terbagi, masihkah do'aku sampai padamu, sholatku terjawabkah, tilawah sumbangku terdengarkah?". Uraian-uraian hati terbuka lebar di dalam diamnya. Betapa hati menjadi tempat yang terkuat dan yang terlemah.

###

Kesibukan menenggelamkannya. Tidak jarang, ia tiba-tiba teringat namun segera dilupakannya. "Bila jatuh cinta itu harus pada saatnya" batinnya dalam hati, lalu ia mengempalkan erat tangannya kemudian kembali melangkah. Di kampus pun, ia berusaha menghindar begitu rupa. Sulit ternyata, namun ia bisa melakukannya.

sebuah percakapan di kala senja

"Vy, sudah saatnya kamu berfikir untuk menikah" ucap sosok berjilbab di depannya. Sosok yang dulu pernah ia ungkapkan kemantapan hatinya untuk keluar dari lembaga, menjauhi orang itu.

Vy diam.

"sudah ada yang dianggap cocok menjadi pendamping ?"

Vy ingat orang itu.

"belum, Mbak" ucapnya sambil menimang si kecil Ali, buah hati pernikahan si mbak setahun lalu

"nanti mbak minta abinya Ali mencarikan'

Vy mengangguk

###

Vy bukannya tidak mau bicara. Namun hatinya lelah, Allah yang akan menentukan segalanya. Jika jodohnya memang dia, bukankah Allah akan mendekatkannya. Do'a yang ia latunkan setiap saat. Bila ia jodohku maka dekatkan ya Allah, bila tidak jauhkan.
"Pernikahan bukan untuk cinta dunia, namun untuk cita-cita yang lebig besar. Pernikahannya ia hibahkan ke jalan ini. Suaminya, anaknya dan cintanya, semua." teriak Vy dalam hati. Airmata berlinang di pipinya.

###

"Allah" Ujarnya malam itu

Sekali lagi ia diuji, ketahanan hati sampai dimanakah?. Sosok yang ia pikirkan memang yang diberikan oleh abi Ali.

"Vy, aku membaca lakumu, Adikku' ucap sang Umi Ali. " dan aku bangga atas pilihan sikapmu"

"Allah yang memberi cinta, namu kitalah yang mengaturnya. Betapa sifat yang membuat kita jatuh cinta Allahlah yang memiliki sifat mahanya. Maha Mengerti, Maha Bijaksana, dan ialah sebenar-benar pelabuhan cinta"

Vy meneteskan air matanya

"ia meminta Vy menunggu 6 bulan sampai S2nya selesai. Insyaallah setelah itu persiapan pernikahan dimulai, Bagaimana ?"

###

"Mbak, aku tak akan menunggu. Carikan Vy calon lain saja" Ujar Vy. Ini hasil sujud malamnya

Kontan, Umi Ali terkejut "kenapa Vy?"

"Vy, sudah menunggu begitu lama dan 6 bulan hanya akan serasa neraka. Vy hanya mentolerir 2 bulan itu pun karena proses pernikahan dan persiapan"

"Vy..."

"Vy mantap, Mbak. 6 bulan cukup untuk membengkokkan niat lurus itu. 6 bulan akan membuat hati itu kembali berbunga tapi belum saatnya. 6 bulan akan ada komunikasi yang entah diridhoi atau tida. 6 bulan Vy akan bermimpi-mimpi indah, terlena, tapi belum pasti Vy akan tetap hidup 6 bulan lagi dan mampu melakukan mimpi-mimpi itu"

Ucapan Vy tidak jelas karena diselingi segukan air mata namun umi Ali tau ia serius

"Vy..." Umi ingin mengajak Vy bicara lebih lanjut.

"Setidaknya Vy ingin menjaga hati, Mbak. Sampai saat itu tiba."

###

Dan disinilah Vy sekarang. Bersanding dengan sang pujaan. Bukan...bukan dengan dia. Namun denganseseorang yang akan Vy puja dan tercatat sebagai amalan. Dia yang pernah mengisi hati Vy itu datang sebagai undangan. Keputusannya terlambat. Pinangannya datang setelah Vy menerima khitbahan. Hanya berselang sehari saja. Dan itu karena ia tidak mendapatkan tiket sehari sebelumnya serta orang yang dititipkan untuk meminang kecelakaan ketika berangkat bekerja.Bukankah Allah yang menjauhkan?.

Vy tersenyum, lelaki disampingnya menoleh. Kemudian ikut tersenyum. Tangannya menyentuh tangan Vy..Ragu. Dengan muka merah, Vy yang mengenggam tangannya terlebih dahulu. Selamat datang pujaanku, selamat pulang suamiku. Seseoran ini akan menemani sujud malamnya, do'anya dalam nyata bukan kata.


#gambaran cinta bagiku. begitu dahsyat namun sederhana

Minggu, 05 Desember 2010

Dan Ini Rasaku


Seperti mengemban kesalahan orang lain dalam kehidupan
aku berteriak lirihku pada Pemilik Alam
selamatkan aku dari kehampaan

Ia menjawab, dalam luruh tangis keputusasaan
berupa rengkuhan hangat alam dan kekuatan tangan
meghapus kedukaan.

*bahkan ketika ku memberikan seluruh kehidupanku padamu, bisakah kau menjaganya melebihiNya. dalam hatiku bertanya.

Rabu, 01 Desember 2010

Sang Petualang

“apa yang ia pikirkan” batinku

Lelaki yang ku nikahi 3 tahun lalu baru saja pulang, tak ada senyuman melihat padaku pun tidak. Ia membuka pintu, masuk ke rumah, melepas sepatu, meletakkan barang bawaannya lalu berjalan ke kamar mandi. Tak lama terdengar suara shower. Ia mandi dan aku terus membatin di dalam hati.
###
Pernikahan kami terjadi karena orangtua. Bukan.., bukan seperti kisah-kisah sinetron, pernikahan bisnis demi harta atau hutang keluarga. Kami bertetangga, diumur yang cukup tapi masih belum menikah. Maka orangtualah yang turun tangan dan kami, yang begitu berbeda, saat itu berkata “iya”.
Mungkin karena desakan, bingung atau entah apa. Aku menerima sang petualang itu dalam hidupku. Berusaha mencintainya?, bukan perkara gampang. Kepulangannnya ke rumah hanya beberapa kali saja dan berapa lamanya, bisa dihitung dengan sebelah tangan. Seigatku 6 hari itu yang paling lama. Kabar yang kuterima hanya,

“aku sedang di gunung”

dan ketika kubertanya “gunung apa ?”, maka dering pertanda pesan darinya tak pernah terdengar . Akhirnya aku pun jarang membalas,

“aku sedang di telaga”

“lagi di danau”

“masuk hutan”

hanya semacam laporan dan tak perlu check lebih mendalam.
###
Ia selesai mandi, memakai pakaiannya dikamar lalu berjalan ke meja makan. Ia makan apa yang ada di bawah tudung saji. Tidak ada yang istimewa karena aku tak pernah tahu kapan ia pulang. Sang petualang makan hanya dengan telor dadar, sore itu. Aku duduk disebelahnya sambil sesekali menuangkan air ke gelasnya yang kosong.
###
6 bulan setelah pernikahan, ia mengalami kecelakaan. Beberapa retak ada di tulang kering dan paha kaki sebelah kirinya serta kaki sebelah kanannya patah, hingga sebuah operasi pemasangan penyangga di kakinya harus dilakukan. Perlu sekitar 1 tahun ia untuk pulih dan selama pemulihan , ia memilih di rumah orangtuanya. Takut menganggu kuliah S2-ku katanya dan entah mengapa aku bersyukur atas pilihannya.
Setelah pulih ia kembali ke organisasi lingkungan liar International itu, kembali ke pekerjaannya sekaligus hobinya. Tanpa bicara padaku tentu saja. Dan saat itulah aku merasa rindu.

“kutitipkan rinduku padamu, wahai angin. Dan sampaikan padanya yang berada diujung samudra betapa hati ini nelangsa”

sebuah pesan kukirimkan pada nomor yang mulai ku hafal di luar kepala. Dan tidak ada jawaban.
###
Ia makan dengan tenang. Tiada keluhan terucap dari bibirnya. Seandainya aku tahu ia pulang hari ini, tentu aku akan membuat sesuatu yang lebih istimewa. Makanan kesukaannya mungkin, ikan bakar manis. Hal sekecil ini pun ku ketahui dari mertuaku. Suami petualangku tidak pernah meributkan apapun, ia diam, aku pun diam.

###
6 bulan lalu
Aku wisuda profesi. Tidak ada tanda-tanda kedatangannya. Setelah ibu-bapak mertuaku pulang, ibuku tak bida hadir karena adikku yang menempuh ujian akhir SMA minta ditemani, aku sendirian dan perasaan rindu padanya semakin kuat, tiba-tiba ingin bercerita banyak hal padanya walau ku tahu akan dijawab dengan diam. Esok aku pulang ke rumah, merayakan kelulusan bersama keluarga yang diadakan ibu dan mertua. Aku bersiap-siap dan kemudian tidur.
Menjelang siang aku sampai di kampung halaman. Setelah mencium dan memeluk ibu, aku masuk ke kamarku. Sebuah bunga dan tas yang begitu aku kenal. Seseorang melangkah masuk, suamiku sudah ada disitu tersenyum. “selamat” katanya.
Malam itu adalah malam ketika kami bicara banyak hal. Terutama berbagi cerita dan nostalgia masa kecil, saat kami bermusuhan ala kadarnya khas anak kecil. Serta sebuah pengakuan cinta olehku untuknya. Yang membuat semua percakapa itu berakhir, ia serta merta membelakangiku dan aku menyesal atas ucapanku. Esok paginya, ia pergi, pamit pada semua orang, tapi tidak padaku.

###
Ia selesai makan. Aku membawa piring kotornya ke dapur lalu membuatkan kopi pahit kesukaannya. Aku mendengar langkah kaki dan pintu dibuka lalu ditutup kembali. Adzan, ia ke masjid dekat rumah. Aku meletakkan kopi pahit panas itu di ruang keluarga, di kursi dimana ia selalu duduk bila di rumah, menonton TV, membaca buku maupun menulis jurnal perjalanannya di laptop. Selesai sholat dan keluar kamar, ia telah ada disana tidak melakukan apa-apa. Kopinya sudah tinggal separuh. Aku duduk di sofa panjang, disamping sofa tempat ia biasa duduk. Diam, sepi dan aku benci ini. Peristiwa 6 bulan lalu kembali mendesak diingatanku.
Ia tiba-tiba pindah ke sebelahku

“aku ke telaga” ucapnya

Aku diam

“telaga yang sama dengan telaga di awal pernikahan kita”

Aku masih diam

“aku juga ke pantai yang ku beritahu padamu sesaat setelah kecelakaanku”

Aku ingat itu. Ia tidak bisa lagi naik gunung, hingga berpindah divisi setelah pulih.

“terakhir sebelum pulang aku ke hutan yang sama, tempat ku berada saaat mendengar kelulusanmu”

Kemudian kembali diam.

“apa yang kau temukan di telaga ?” tanyaku

“dalam ketenangannya kutemukan kedalaman hati” ujarnya

“apa yang kau dapatkan dari deburan ombak pantai ?”

“bahwa suatu saaat semua akan kembali ke labuhan”

“lalu ketika berada di hutan ?”

“ku temukan bahwa dalam kesendirian pun tiada yang lepas dari perhatian Sang Pencipta dan kutemukan kau menghiasi setiap langkah. Hingga ku tahu dimana hatiku berlabuh dalam cintaNYa, tahu bagian mana di muka bumi, yang paling kuanggap sebagai rumah”

Aku diam. Ini pernyataan cinta sang petualang. Hal yang menyesakkan dada itu hilang, aku memandangnya lama. Aku menyerah kalah padanya. Pada cinta yang kutakutkan hanya ada padaku saja, prasangka atas diam dan lakunya. Aku tidak menyadarinya ternyata. Kalah atas cintaku yang terlambat ada dan mataku yang tidak melihat bahwa aku diperlakukan lebih istimewa. Walau sekedar pemberitahuan dimana ia berada,tapi diriku selalu ada dihatinya. Bukankah ibu mertua selalu takjub ketika ku tahu dimana ia berada, padahal sebelumnya ibu mertua tak pernah mendapat kabar darinya. Mataku berkaca-kaca

“aku mencintaimu sejak lama, namun ku tak tahu cara menyatakannya. Kepergian terakhirku untuk mensyukuri betapa akhirnya aku dicinta oleh bidadari dunia”

Kami berpandangan lama.


#tantangan atas sebuah cerita cinta yang diluar dari biasanya.

Dialektika dalam Perjalanan

Sudah lama tidak menulis. Paska erupsi merapi banyak hal yang mulai kulupakan, sehingga ketika hidup para penyintas itu kembali normal, kenapa kehidupanku tidak. Aku mulai menyusun rencana-rencana, impian-impian, dan segala hal yang "dulu" pernah ku buat dan ku arrasemen ulang dengan adanya kejadian itu.

Opps.. ditengah malam ini (bohong ini mah udah jam 3, pagi buta), saya kembali merenungi perkataan saya barusan. Penyintas kembali ke kehidupan normal ?, 'mungkin' perlu ditambahkan didepannya, bukankah kepastian adalah milik Sang Pencipta ?.

Sebuah ketakutan besar ada di hati saya.

berapa anak yang menyatakan lebih baik di pengungsian saja

berapa anak yang menyatakan pada orangtuanya kalau ingin berada bersama kakak yang ada di pengungsian saja.

bearapa anak yang dimarahi orangtuanya karena menangis dibelikan mainan atau makanan

berapa ibu yang terluka hatinya karena mendengar tangisan anaknya, galau dihati atas kehidupan, yang mungkin harus dikelola lagi dari awal, memenuhi keinginan anaknya,dan bertahan dari segala emosi yang datang berdesakan...

berapa Bapak yang nanar menatap keheningan malam, memikirkan bagaimana bertahan hidup ketika pagi menjelang dan alasan apa yang harus diberikan pada anaknya ketika tidak mendapat jajanan lagi dan kenapa mereka tidak di pengungsian saja.

pikirku galau,,,

Ini pertama kalinya menjadi relawan untuk kondisi merapi. Ribuan pengungsi, berbagai ratapan, keluhan dan kondisi itu. Rabb, betapa hamba harus belajar bersyukur dengan diri hamba. Betapa banyak yang harus dipelajari dalam perjalanan itu. perjalanan yang akan berakhir di liang lahat.

apa kabar adik-adik itu
yang terbiasa waktu itu bermain dengan suka di pengungsian
banyak teman
banyak kakak-kakak relawan
banyak jajanan
tersedia mainan
hidup mungkin terasa lebih banyak warna walau hanya barak maupun tenda

"terbiasa"
lalu menjadi kata yang mencekam buat saya.
terbiasa dengan itu semua, yang mungkin tidak didapat di kehidupan mereka sebelum erupsi merapi, lalu kembali ke kehidupan yang akan mereka perjuangkan untuk kembali seperti semula.

anak-anak itu.
ah...
sebuah helaan panjang. apakah ku berbuat kesalahan ? benarkah yang telah kulakukan?. Betapa ingin mempersiapkan mereka untuk kembali ke rumah setelah pengungsian panjang. Bukan sebuah permainan atau buah tangan. Namun sebuah kesiapan menerjang kehidupan baru, tertawa bersama orangtua dan menjadi penyeka air mata mereka. Otakku meronta dengan berbagai pikiran yang tidak semuanya mampu kulakukan.

Keberadaan kita si "makhluk asing baik hati di pengungsian" adakah mencederai mental mereka. Kebersahajaan kehidupan tergantikan minuman dan jajanan reward yang dibagikan tanpa penjelasan. Setiap orang yang datang lalu mengajak bermain tanpa penghayatan, tiadanya larangan, atau larangan tanpa tindakan. "kenapa tidak ada lagi jajanan itu ?", "kenapa orang-orang itu punya waktu untk bermain bersamaku sedangkan orangtuaku tidak?". pertanyaan-oertanyaan yang mungkin kini tebersit di pikiran anak-anak itu. Bayangan itu bukankah membuat barak pengungsian menjadi tempat yang menyenangkan daripada rumah. Bukankah ini salah ? bukankah seharusnya program-program yang ada membuat mereka mampu kembali ke kehidupan normal mereka. Berjuang dan bertahan dalam perjuangan walaupun kenyataan berkata mereka harus mengulang semua yang pernah mereka dapatkan.

Semua orang sedang berbuat semampu mereka, saya pun yakin itu. Ini hanya kegalauan saya yang bodoh saja. Menganggap tahu dunia tapi sebenarnya tidak mengenal bahkan sebuah kerikil pun.
Hanya saja hati ini galau.

benciku

Untuk pertama kali dalam kehidupan
Aku tidak tahu harus berbuat apa,
Kenyataan membawaku pada kenangan
Sibuk menatap dalam kesunyian

Ku telah membuang kenangan
Hanya masa lalu yang kubungkus dalam hiasan
Jangan kau berkata bahwa ku tak akan mendapat pelajaran
Ku tahu dari situ bahwa ku harus bertahan
Bukan terpukau lalu terlenakan

Teriakan
Pemecah benak
Hati galau
Itu pun terbuai dalam harapan, engkau berkata
Ku hanya berkata
Kau tak begitu mengenalku saudara

Mungkin kau hanya tahu topeng ketika ku berlaga
Beretorika
Mempropaganda
Atau hanya
Ketika ku memasang wajah lembut pada dunia
Dan tahulah kau bahwa topengku berjuta rupa.

Untuk pertama kali
Namun ku berdo’a untuk yang terakhir kali

Karena setelah ini
Kau kucampakkan dari lembaran kisah
Bahkan tidak kuijinkan kau menginjak tanah merah
Bersenandung lagu pemakaman
Teriring nisan bernamaku disana.

*diantara keyakinan dan penghujung waktu.Allah sembuhkan hatiku..