Kematian
itu datang mengetuk pintu rumah kami. Pertama kali dan membawa pergi orang yang
paling dekat denganku. Dalam langkah menjalani hidup kembali, aku tersesat
dalam kehilangan yang termat sangat. Kesedihan yang mengalihkan dunia dari
pikiranku. Malam itu ketika nikmat nafas dan rasa nyaman diambil dari tubuhku.
Aku paham aku butuh pertolongan.
Butuh
waktu bagiku untuk bisa terbuka dengan orang lain. Aku menyampaikan ide bukan
perasaan. Beliau paham itu dan percakapan panjang kami di tengah malam akan
dimulai dengan cerita tentang kesehariannya. Perasaan dan pikirannya tentang
kejadian disekitarnya. Kabar tentang rumah, mama, wiwi, kakak dan Jeje. BIasanya
aku akan diam mendengarkan. Lalu pada suatu titik, beliau akan bertanya “kabarmu
seperti apa” dan mulailah si bungsu bercerita. Si Bungsu terlalu memakai hati
ucapnya. Terkadang ia menyatakan “Kuatlah seperti Si Sulung”, “Lantanglah
seperti SI Tengah” namun akan berakhir “kamu akan selalu menjadi kamu”.
Sifat
ini mempengaruhiku ketika beliau kembali ke Penciptanya. Ketakutan membebani
orang lain membuatku bungkam tentang diriku. Kupasang senyum di wajah dan
kuhadapi dunia dengan itu. Semua rasa ku simpan di dada dan menyerang diriku
sendiri pada akhirnya.
Sadar
butuh pertolongan aku pun menghubungi orang-orang terdekat. Bercerita apa adanya mengenai ruang yang hampa
di dalam hati. Tentang rindu akan ciuman, pelukan, suara dan panggilan sayangnya.
Tentang mimpi-mimpi buruk yang tidak mau pergi. Entah apa yang mereka dengar di
antara isak tangis itu namun keberadaan mereka sedikit demi sedikit meruntuhkan dinding-dinding yang membelenggu
diri.
Ada
beberapa kata yang masih ku simpan di dalam dada sampai saat ini., Bila rindu
papa aku hanya perlu melihat ke hatiku, beliau ada di situ. Iya.. di hatiku
tidak ada ruang hampa itu, beliau bersemayam di situ dalam bentuk paling utuh,
paling indah dan paling gagah. Segagah wajah beliau ketika pakaian terakhir
ditutupkan ke wajahnya.
Sejenak
dan terpatri dalam adalah penghiburan bahwa Allah merupakan pemilik scenario terbaik.
“Kamu begitu gigih memperjuangkan caregiverkan,
Va. Allah memberikan itu, kamu membersamai dua keluarga ODS dan Allah
mengajarkanmu dengan caranya sendiri bagaimana rasa menjadi penjaga orang
dengan kanker. Diberitahu tentang rasa sedih, putus asa, takut akan kehilangan
dan ketidakpastian yang selama ini hanya kamu tahu lewat membaca. Tidak ada
yang salah dengan tangis. Yang salah ada tenggelam dalam kesedihan. Hanya kamu
yang dibutakan air mata hingga tidak melihat orang-orang mengapaikan tangan
kepadamu untuk member pertolongan, memeluk dan memberimu semua daya yang mereka
punya”
Redaksionalnya
tidak sama namun kata-kata seorang kakak ini menghantamku begitu keras.
Membuatku
berbicara kepada orang-orang. Memberitahukan keberadaanku. Aku
sedikit-sedikit melepaskan diri untuk bercerita mengenai keadaanku walau masih
histeris bila orang-orang menanyakan langsung. Mungkin masih butuh waktu lagi
untuk membiarkan orang yang mengajak berbicara
dan bertanya tentang papa.