Senin, 21 Februari 2011

Hasil Percakapanku dengan Hadjun

(Aku pulang dalam keadaan capek, ingin istirahat dan ternyata kamar yang rapi ketika berangkat sudah ambulradul. Rak untuk benda-benda kecil jatuh kebawah, bunga edelwais jatuh dan terpisah dari potnya, buku-buku di barisan rak paling bawah jatuh sebagian)

Hadjun di Pojok "miliknya
Aku      : Hadjun, kamu tu kok seneng amat sih. Berantakin kamar. Yon kan susah bersihinnya lagi.
Hadjun : mengeong (gak tau artinya apa, yang jelas hadjun selalu tau kalo sedang dimarahi)
Aku     : hadjun kan gak bisa bantu bersihin.
Hadjun : (diam, trus mendekat ke kaki, minta dibelai)
Aku     : (aku mengacuhkan)
Hadjun : (beranjak ke pojok "milik"nya)

aku mulai membersihkan kekacauan yang dibuat Hadjun (kucingku). Lalu sebuah insight muncul.


Allah, betapa aku tidak sabar
bagaimana besok ketika mengasuh anak-anakku, aku memperlakukannya sama dengan hadjun. Anak-anak itu tidak boleh ini, tidak boleh itu, jangan berantakin rumah dll. Naudzubillah,

Kemudian anak-anak itu akan takut untuk berkreasi, takut untuk menyatakan pendapat, takut untuk bereksplorasi. Padahal mereka sedang berada di rumah sendiri.Aku tau analoginya terlalu jauh dari Hadjun, tapi ini memang terpikirkan sejauh ini olehku. Anak-anak ini harusnya ku didik  menjadi seorang mujahid/mujahidah yang lantang menyerukan kebenaran, pemberani, percaya diri dan memikau siapa pun yang melihat mereka. Tapi bagaimana bisa, bila dirumah mereka dihambat begitu rupa, ibu yang tidak konsisten tentang visi untuk anak-anaknya dan perlakuan kepada mereka.

Mereka akan terbiasa malu, tidak percaya diri karena tidak boleh melakukan apa-apa. Mereka mungkin saja akan menjadi beradalan diluar, karena tidak bisa berekspresi di rumah. Mereka menjadi tokoh yang sangat superior di luar tapi  inferior ketika dilingkungan keluarga. Dan yang paling kutakutkan ketika mereka merasa ada jarak dariku, tidak bisa menyatakan keinginan mereka..

Dalam behaviouris, dinyatakan bahwa anak mempelajari sikap dengan belajar dari luar, lingkungan, dan yang paling sering ditiru adalah orangtua atau figure lekat. Bayangkan bagaimana anak-anakku itu nanti menyalurkan emosi ke teman-temannya. Meniruku kah?,, "eh, kamu jangan ambil pensilku ya", "itu tempat dudukku"... dan semacam itu.
Mereka kemudian terbiasa diam karena ketika diam mereka mendapatkan pujian sayang dariku. Sehingga tercipta mindset bahwa ummi suka kalo kita diam, maka inilah sikap kalo ada di depan ummi. Naudzubillah, maafkan aku ya malaikat-malaikat kecilku.


Allah.
 aku tiba-tiba kangen mama. Maaf ma masih belum bisa menjadi anak yang baik untukmu. I love U.

Begitulah. Dan sebelum aku membuat note ini, aku membelai hadjun di pojoknya. Yon sayang Hadjun lo.. maaf sudah marah-marah


 Allah
terima kasih memberi rizqi berupa ilmu dari tempat yang tidak disangka-sangka, dan kali ini dari hadjun.
Hak seorang anak adalah mendapatkan seorang ibu yang baik. Sehingga seorang calon Bapak harus memperbaiki dirinya terlebih dahulu, hingga janji Allah untuk mempertemukan yang baik dengan yang baik terpenuhi. Pendidikan anak Islam itu dimulai jauh sebelum mereka lahir, yaitu ketika calon ibu dan bapak mampu menjaga diri mereka sebagai cikal bakal pengasuhan diri dan keluarga yang baik.. haduh .. ini mah bahasan berikutnya ya...

segitu dulu deh.. :)

1 komentar: